SELAMAT DATANG!!!!!

SILAKAN MEMBACA BLOG SAYA, KALAU ADA KEKURANGAN KASIH COMMENT DI SHOUTBOX YAAAA

Rabu, 30 April 2008

FootballSpecial : ASEC Mimosas Academy

PENGASAH "INTAN" MENTAH AFRIKA. MEMBUKA KESEMPATAN BERMAIN KE EROPA




Inilah oase di tengah duka nestapa. Di negeri yang berkecamuk perang saudara Pantai Gading, berdiri akademi sepak bola kelas wahid. Produsen pemain-pemain hebat dunia, ASEC Mimosas Academy namanya. Milik klub papan atas Afrika, ASEC Mimosas Abidjan.

Di tempat ini, anak-anak Pantai Gading dan beberapa negara Afrika lain memelihara mimpinya. "Layaknya mimpi bagiku bisa masuk ke akademi ini. Aku ingin bisa seperti Kolo Toure, pemain hebat Arsenal," seru Cesar Troh, bocah yang menjadi salah satu anggota ASEC.

Beruntung Troh. Dia tidak menggantungkan mimpinya di tempat yang salah. Dalam dasawarsa terakhir, akademi yang beridiri pada 1993 ini menjelma menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Tidak kalah bermutu dibanding akademi sepak bola Ajax Amsterdam, De Toekomst.

Jika De Toekomost telah menelurkan pemain seperti Edgar Davids, Clerence Seedorf, PAtrick Kluivert , dan Dennis Bergkamp, ASEC juga mencetak pemain-pemain hebat sperti Kolo Toure, Emmanuel Eboue (Arsenal), Salomon Kalou (Chelsea), hingga Didier Zokora (Tottenham). Bahkan, hampir 70% pemain timnas Pantai Gading di Piala Dunia 2006 jebolan akademi ini.

"Kami tahu tentang akademi ini karena pemain-pemain hebat mereka seprti Kolo Toure," kata Ibnrahim kone, siswa berumur 16 tahun. Kone tidak sendirian. Ada puluhan ribu anak-anak Pantai Gading yang bermimpi bisa masuk ke akademi ini. BBC melaporkan, para pemandu bakat ASEC sampai harus memonitor 30 ribu anak yang ingin mendaftar.

Sayang, tak sampai satu persen yang diterima. Kriteria agar bisa menjadi siswa ASEC sangat tinggi dan berat. Dalam setiap perekrutan, ASEC hanya mengambil 18 talenta muda (berumur antara 12 sampai 15 tahun) saja untuk digodok.

PENDIDIKAN GRATIS


ASEC Mimosas Coach : Patrick Liewig

ASEC mengusung filosofi menarik. Mereka tak hanya mengasah kemampuan olah bola, tapi juga memperhatikan aspek pendidikan secara utuh. Siswa ASEC tetap diberi pelajaran matematika, sejarah, geografi, fisika, bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Tiap hari mereka masuk ke kelas layaknya siswa sekolah kebanyakan. Namun, tiap akhir pekan ada pertandingan khusus. "Sekolah tetap menjadi salah satu prioritas kami," kata Kepala Administrasi dan Pendidikan ASEC, Benold You.

Dengan suplai pendidikan yang memadai, diharapkan alumni ASEC mempunyai pola pikir dan pengetahuan yang mengimbangi kekuatan skill mereka. Pasalnya, pebola hebat tak hanya butuh skill di lapangan bola, tapi juga visi yang memadai. Hebatnya, akademi tak memungut dana dari siswa. Semua kebutuhan siswa ditanggung akademi. Mulai dari makanan, baju, hingga asrama.

Konsekuensinya, butuh dana tidak sedikit untuk memutar operasionalnya. Saat didirikan oleh eks pemain Perancis, Jean Marc Guillou, dana didapatkan dari sponsor dan klub ASEC Abidjan sebagai pemilik. Sekarang kondisi sedikit berubah. Sejumlah sponsor memangkas dananya. Akibatnya, harus dilakukan sejumlah penghematan. Para pelatihnya sampai tidak digaji.

Meski begitu, bukan berarti para pelatih tak punya penghasilan, Uang bisa di peroleh setelah siswa yang didik menjadi pemain hebat dan laku dijual. Faktor inilah yang membuat mutu akademi ASEC Mimosas makin maju. Sebab, agar bisa menghasilkan duit, akademi dipaksa bisa menghasilkan pemain hebat. Hal yang berimbas kepada makin selektifnya memilih calon siswa dan seriusnya tenaga pendidik melatih bakat-bakat terbaik.

Namun, kebijakan itu juga menuai sejumlah kritik. Akademi sepak bola semacam ASEC, dinilai telah mengeksploitasi bakat-bakat muda untuk uang semata. ASEC meneriam kritik itu dan berkilah kebijakannya tidak salah. Soalnya tidak ada pihak mana pun yang dirugikan. "Jika klub-klub Eropa yang punya banyak uang datang kemari untuk membeli pemain kami, saya pikir ini malah bagus untuk perkembangan Afrika," argumen Xavier Minougou, staf pelatih di ASEC.

Benar karena saat itu mimpi anak-anak Afrika tampil di liga-liga Eropa terwujud nyata.


Sumber : Tabloid Soccer

Minggu, 27 April 2008

FootballClassic : Ron Greenwood

Ensiklopedi Berjalan
Kaya Ilmu dan Inovasi, Mampu Mengembuskan Permainan Modern


"Ron Greenwood adalah manajer hebat yang telah banyak memberi kontribusi dalam perkembangan permainan sepak bola modern Inggris. Dia insan sepak bola sejati yang selalu memeberikan kemampuannya secara total buat sepak bola," puji Ketua FA, Geoff Thompson, ketika Greendwood meninggal pada 9 Februari 2006 lalu. Mantan pemainnya di West Ham dan timnas Inggris, Bobby Moore menambahkan, Greenwood pelatih yang kaya ilmu dan inovasi. "Semasa hidup, dia adalah ensiklopedi sepak bola berjalan," katanya.

Pujian yang tak berlebihan, atau sekadar penghibur keluarga yang ditinggalkan. Greenwood memang pelatih dengan kemampuan hebat yang diakui kawan dan lawan. Dia mampu mentransformasikan ilmu dan ide-ide liarnya dalam permainan sepak bola. Tim yang dia tangani selalu punya daya dobrak tinggi, pun kreatif dan lebih modern.

Karier Greenwood sebagai pemain memang tak terlalu mencorong. Namun, begitu menjadi pelatih, Greenwood langsung menunjukkan bakat besarnya. Saat menangani West Ham pada 1961, hampir tak ada yang mengira klubnya bakal menggigit. Faktanya, West Ham menjadi klub yang disegani di Liga Inggris. Gelar juara Piala FA 1964 adalah salah satu buktinya. Setahun kemudian dia membawa West Ham juara Piala Winners. Satu-satunya gelar internasional Hte Hammers yang sampai sekarang tak pernah terulang.

"Satu-satunya orang yang berpengaruh dalam karierku adalah Greenwood. Jika dia tak mengubah posisiku, mungkin Inggris tak pernah juara Piala Dunia 1966," puji Geoff hurst. Bakat Greenwood sebagai pelatih memang sangat besar. Dia mampu mengubah gaya bermain sebuah tim menjadi lebih agresif dan kreatif. Baginya, kemampuan menguasai bola menjadi kunci penting dalam permainan. "Untuk menghadapi tim-tim besar Eropa dan Amerika Latin, pemain sayap sangat perlu. Yang lebih penting, serangan harus mebih kuat," katanya.

Pendapatnya itulah yang membuat permainan West Ham lebih kreatif dan modern. Begitu pula timnas Inggris ketika dia tangani sejak 1977 sampai 1982. Di tangannya, Inggris bermian kreatif dan ofensif, tapi tetap tangguh dalam bertahan. Timnas yang sempat terpuruk, kemudian bangkit kembali dan sukses masuk putaran final Piala Eropa 1980 dan Piala Dunia 1982. Seblumnya,sejak 1976 Inggris gagal ke final Piala Eropa dan Piala Dunia sejak 1974.

Di tangan Greenwood, Inggris sempat menjadi momok yang menakutkan. Dalam 55 pertandingan,Inggris menang 33 kali, seri 7 kali dan hanya kalah 10 kali. Bahkan selama Piala Dunia 1982, Inggris tak pernah terkalahkan sejak kualifikasi, meski akhirnya gagal di putaran kedua karena kalah selisih nilai. "Greenwood merupakan salah satu pelatih terbiak yang pernah dimiliki Inggris," kata Trevor Brooking, mantan striker timnas.


NYARIS TERSESAT





Greenwood tumbuh saat Inggris dalam masa serbamembingungkan akibat Perang Dunia II. Situasi yang saaat itu disebut Masa Depresi. Greenwood pun gelap tentang masa depannya. Yang dia tahu, dia sangat menggemari sepak bola. Di sisi lain, krisis ekonomi memaksanya harus mencari uang. Greenwood sempat gamang. Bermain bola tetap jalan, tapi dia terpaksa harus bekerja sebagi staf pemelihara lapangan di stadion pada 1940-an. Bahkan, dia sempat coba-coba menjadi penulis lagu.

Dua profesi yang membuatnya sempat resah. Sebab, sejatinya dia tak ingin menjalani profesi itu. Dia lebih suka menjadi pemain sepak bola priofesional seperti yang dia cita-citakan. Bekerja di luar sepak bola. Bahkan, sebagian besar waktunya sejak kecil telah dia habiskan untuk belajar sepak bola. Beruntung pada 1940 Chelsea meminangnya. Greenwood dianggap gelandang bertahan yang cukup berbakat. Sayangnya, dia selalu bermain untuk tim-tim kecil. Chelsea saat itu juga masih termasuk tim kecil. Sehingga, nama Greenwood tak pernah diperhitungkan, termasuk saat membawa Chelsea juara Divisi I pada 1954-55. Wajar jika dia tak punya astu pun cap di timnas Inggris.

Karier biasa-biasa saja sebagai pemain tak membuatnya surut dari sepak bola. Begitu pensiun pada 1956, dia langsung menekuni karier sebagai pelatih. Di sini bakat besarnya semakin terasah. Meski mengawali karier menangani klub amatir seperti Eastbourne united dan Oxford University, tapi Greenwood cepat mendapat apresiasi luas. Kemampuannya sebagai pelatih makin diakui, hingga West Ham pun tak ragu merekrutnya pada 1961.

"Sikapnya terhadap permainan sangat hebat, bahkan masuk jajaran kelas satu. Siapa pun yang pernah dilatihnya akan mendapat banyak pelajaran sepak bola," kata mantan striker timnas Inggris, Tony Woodcock. "Greenwood adalah manusia sepak bola. Aku beruntung pernah dilatihnya. Dia sangat menghargai skill dan kualitas pemain," tambah kiper legendaris Peter Shilton. Tak hanya Shilton yang beruntung. Seluruh Inggris beruntung pernah memilikinya. Pelatih yang mampu mengubah gaya permainan Inggris jadi lebih modern.


Sumber : Tabloid Soccer

Sabtu, 19 April 2008

FootballUnique : Pebola Penyakitan

Sakit kronis tak pernah meruntuhkan semangat mereka untuk bermain bola. Justru mengubah mereka menjadi jagoan. Siapa saja pebola yang kurang beruntung karena punya cacat atau penyakit bawaan? Ini dia mereka.


1. NWANKWO KANU

TAK TAKUT MATI DI LAPANGAN

Striker andalan klub Inggris yang tengah naik daun, Portsmouth ini punya cerita mengagumkan. Dia punya riwayat medis mengerikan, kelainan jantung sejak lahir. Tapi masalah itu tak mengalanginya menjadi pebola besar. Bahkan tak takut ancaman dokter bahwa dai bisa mati di tengah lapangan, kalau nekat bermain dengan kondisi jantung amburadul.

Sekilas tentang masa lalunya, dia mengawali karier sepak bola sejak umur 15 tahun. Kariernya melesat bak roket, terutama sejak di beli Ajax Amsterdam pada 1993. Namanya segera mendunia. Salah satu prestasi hebatnya terjadi pada Olimpiade 1996. Sukses mengantarkan Nigeria menyabet medali emas.

Tapi usai prestasi memesona itu, cobaan berat mengadang. saat menjalani pemeriksaan kesehatan di Inter Milan (tes kesehatan dalam proses transfer dari Ajax ke Inter), kelainan jantung Kanu divonis makin parah. Dia harus segera menjalani operasi, atau akan mati di lapangan. Pada November 1996, Kanu menjalani operasi bedah jantung.

Banyak kalangan berprediksi karier Kanu akan tamat atau setidaknya meredup. Pendapat para pengamat hampir menjadi kenyataan ketika dia terseok-seok di Inter Milan dan akhirnya di buang ke Arsenal. Namun, di Arsenal dia mampu bangkit dan sempat kembali diperhitungkan.

Pada musim 2006-07 Kanu kembali bangkit. Membela klub medioker Portsmouth. Kanu seolah hidup kembali. Selain bisa membawa Portsmouth menjadi klub medioker paling fenomenal. Salut untuk Kanu. Dengan segenap kekurangannya, dia tetap berani dan tidak takut mati di lapangan.




2. LIONEL MESSI

KEKURANGAN HORMON

Karier anak muda Argentina ini sungguh mengaggumkan. Messi tak hanya menjadi pemain muda paling bersinar di Barcelona, tapi juga disebut-sebut sebagai talenta muda bermasa depan paling cerah di dunia. Majalah Forbes memprediksi, Messi adalah pebola yang bakal punya brand atau nilai jual paling mahal di masa depan.

Melihat aksinya di lapangan, Gayanya sangat menghibur. Bak seniman, Messi bisa mengolah boal dengan nilai seni tinggi. Tapi ada satu pertanyaan yang mungkin terlintas saat menikmati Messi bermain bola. Kenapa tubuhnya kecil? Tak seperti kebanyakan orang bule yang tinggi besar, tingginya hanya 169 cm dan beratnya 67 kg.

Usut punya usut, ternyata Messi mengidap penyakit gawat. Dia mempunyai kelainan hormon sehingga pertumbuhan badannya tidak normal. "Messi kekurangan hormon pertmbuhan (GH) yang membuat struktur tulangnya tak bsia berkembang baik," kata Lamberto Boranga, staf dokter Perugia yang tertarik mengamati Messi.

Benar. Saat berumur 11 tahun, Messi diketahui mengidap penyakit aneh itu. orunya, Jorge dan celia berusaha menyembuhkannya dengan terapi tambahan hormon secara injeksi. Tapi pengobatan semacam itu di Argentina sangatlah mahal. Tiap bulan mesti menghabiskan 1.000 dolar AS atau Rp 10 juta untuk terapi. Ini jelas sangat berat bagi Jorge yang hanya bekerja sebagai karyawan perusahaan baja.

Untuk itu Jorge kemudian membawa Messi pindah ke Spanyol, engara maju yang punya banyak lapangan perkerjaan dan sistem pengobatan lebih bagus dibanding Argentina. Di Spanyol, selain menjalani pengobatan, Messi juga bergabung dengan Barcelona. Berkat pengobatan intensif, meski tidak bisa tumbuh normal, Messi terhindar dari bahaya laten, pertumbuhan yang macet total.




3. EDGAR DAVIDS

TERANCAM BUTA


Pada 1999, langit seperti jatuh menimpa kepala Edgar Davids. Dia ketahuan mengidap glukoma, salah satu penyakit mata berbahaya karena bisa menyebabakn kebutaan. Tekanan cairan di bola mata Davids disebut terlalu tinggi. Tekanan itu bisa merusak retina dan sel-sel mata. Gejala awalnya, mengaburkan pandangan Davids, dan kalau dibiarkan pemain berjuluk Pitbull ini akan menjadi tuna netra.

Operasi mata kanannya yang berjalan sukses, ternyata masih menyimpan masalah. Demi menjaga dari infeksi, Davids harus bisa melindungi mata dari debu dan kotoran. Padahal, dunia sepak bola berdekatan dengan debu dan kotoran. davids juga tak rela kalau harus meninggalkan sepak bola," kata pemain yang sangat jarang berbicara kepada wartawan ini.

Dengan gaya bermainnya yang keras dan bertenaga, kondisinya menjadi lebih ruwet. Beruntung, dengan kemajuan teknologi, davids akhirnya bisa memakai kaca mata khusus anti pecah yang didesain spesial untuknya.




4. PAUL SCHOLES

"ASMA TAK BISA MENGHENTIKANKU"

Siapa yang tak kenal Paul Scholes? Gelandang bertenaga kuda kesayangan pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson. Pemain jebolan Class of '92 ini ber-skill di atas rata-rata dan determinasi luar biasa. Daya jelajahnya begitu tinggi. Itulah karakter Scholes yang dikenal publik.

Nah, ada yang tahu sisi lain dari Scholes? Jangan kaget, ternyata pemain ini mengidap penyakit asma. Sebuah kendala yang sama sekali tak terbayangkan, mengingat gayanya yang begitu terngiinas di lapangan hijau. Sekilas tentang asma, saat kambuh deritanya benar-benar tak terbayangkan. dada terasa sesak dan sulit bernapas. Setiap menarik napas, udara seolah tak bisa masuk ke paru-paru.

Scholes baru menyadari kalau dirinya mengidap asma saat berumur 21 tahun. "Debu dan udara kotor bisa membuat asmaku kambuh. Udara dingin, terutama di musim salju juga bisa memicu. Itulah kenapa, aku selalu berhati-hati dan melakukan persiapan serius sebelum berlatih dan bertanding," cerita Scholes.

Sir Alex dan staf dokter MU sudah lama tahu akan penyakit pemain berambut pirang ini. Namun tak pernah sekali pun Fergie menjadikan asma untuk menyingkirkan Scholes dari sjuad. Padahal risikonya lumayan tinggi. Jika saat bermain penyakit itu kambuh, akibatnya berbahaya.

"Menderita asma tidak berarti harus menghentikan kegiatan yang Anda cintai. Asma tidak bisa menghentikanku dari sepak bola," tegas Scholes. Untuk mengurangi risiko penyakitnya meledak di saat genting, Scholes punya cara khusus. "Aku selalu membawa Inhaler. Terutama sebelum latihan dan pertandingan," ujar Scholes.


Jadi, buat kalian-kalian yang punya penyakit sperti mereka, jangan pernah menyerah hanya karena penyakit kalian itu. Justru karena penyakit kita itu, kita harus menjadi lebih bersemangat untuk mencapai cita-cita kita!


Sumber : Tabloid Soccer
Dengan beberapa perubahan

FootballerHistory : ROBBY DARWIS

Robby Darwis beridiri paling kanan


Biar ga bosen liat artikel dari Luar negeri melulu, kali ini, saya ingin membahas tentang Robby Darwis, salah satu pemain Legendaris yang dimiliki timnas Indonesia pada masa lampau.
Sederet bintang lahir di ranah Pasundan. Khusus bagi Robby, adalah pengecualian. Bukan karena dia tidak termasuk bintang, tapi karena kebintangannya telah diakui dalam skala Nasional. Ban kapten timnas Indonesia yang cukup lama tersemat di lengannya menjadi bukti kemampuannya diakui di level yang lebih tinggi.
Robby memang ditakdirkan untuk jadi seorang bintang. Sejak bakatnya terendus pelatih Persib asal Polandia Marek januta di awal '80-an, jalan karier seakan terhampar mulus untuknya. Secara kebetulan dia tumbuh ketika atmosfer sepak bola Bandung tengah menginjak masa keemasan. Bersama adjt Sudrajat, Robby mewakili generasi Persib paling mencorong di pertengahan '80-an dan medio '90-an.
Tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai wakil generasi emas Persib paling bercahaya. Setidaknya jika kiprah di timnas dijadikan parameternya. Total sepuluh tahun (1987-1997) ia mengenakan seragam Merah-Putih. Dan sebagian besar waktu kariernya di timnas ia lalui sebagai seorang kapten.
Kiprahnya meninggalkan kesan tersendiri buat publik bola Bandung. Sebab, setelah ia pensiun tidak ada lagi pemain Persib yang dipercaya menjadi pemanggul komando di timnas. Tak heran bila sampai saat ini nama Robby selalu dipersonifikasikan dengan romantisme kejayaan Persib tempo dulu.
Sebuah pengakuan yang sangat wajar, mengingat Persib sempat menancapkan kukunya dengan amat dalam di altar sepak bola nasional semasa Robby masih aktif. Bersama koleganya di generasi emas Persib, tiga gelar juara Perserikatan dan satu trofi Liga Indonesia ia persembahkan untuk para bobotoh.
Robby menganggap keempat gelar itu sama-sama mengesankan. Gelar pertama di kancah Perserikatan yang direbut pada musim 1985-86, dia anggap sebagai gerbang prestasi generasi emas Persib. Keberhasilan itu terasa sanagt berarti karena sebelumnya tim Pangeran Biru sempat merasakan pahitnya terlempar ke Divisi I pada 1978.
Gelar sekaligus juga mengakhiri paceklik prestasi selama 25 tahun. "Sedangkan gelar juara Perserikatan 1989-90 menjadi jawaban atas kegagalan generasi emas pada tiga musim setelah merebut gelar pertama," tutur Robby.
Begitu pula dengan gelar ketiga yang direngkuh tahun 1993-94. Terutama karena itulah kompetisi Perserikatan terkahir. Pada msuim berikutnya PSSI mengubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia dengan menggabungkan tim asal Perserikatan dan Galatama. Karena itu pula Persib berhak menyimpan Piala Presiden secara permanen di lemari koleksi mereka.
Kesan terhadap gelar keempat idak kalah impresifnya. Robby menyebut kebehasilannya menyabet titel kampiun Liga Indonesia I mengandung sebuah keajaiban. Masih mengandalkan skuad generasi emas, Persib menjadi satu-satunya tim eks Perserikatan yang tampil di abbak 8 besar. Meski demikian, Robby Darwis dkk akhirnya mampu berkelit dari ekpungan klub-klub eks Galatama, untuk menjadi juara di tahun pertama kompetisi.
"Generasi emas Persib berhasil memungkas kompetisi Perserikatan dan membuka era Liga Indonesia dengan gelar juara. Saya yakin ini sebuah prestasi yang akan selalu dikenang," ujar Robby.
Romantisme terhadap generasi Robby kian menjadi-jadi lantaran setelah titel Liga Indonesia I, Persib tidak kunjung berhasil menambah koleksi trofi juara.


KARAKTER KHAS

Tidak ada pemain yang punya karakter yang khas dan kuat seperti Robby. Karakternya semasa aktif membela panji tim Pangeran Biru maupun timnas sangat identik dengan 'tukang sapu bersih' di lini pertahanan. Sampai kemudian sepak terjangnya di lapangan melahirkan istilah yang sangat populer di kalangan bobotoh, yaitu "halik-ku aing!" ( minggir biar aku yang ambil!).
Seperti itulah memang tipikal Robby ketika menjadi palang pintu lini belakang. Urusan membersihkan daerah pertahanan dari serbuan musuh adalah tanggung jawabnya.
Nama Robby kian menjulang setelah dikontrak klub asal Malaysia, Kelantan FC. Meski kemudian di sana ia tersandung masalah, sama sekali tidak melunturkan citra kebintanggannya. Saat kembali ke tanah air, Robby tetap seorang bintang bagi para bobotoh.
Robby seolah menjadi ikon penting dalam era emas Persib di kancah persepakbolaan nasional. Bila bobotoh mentahbiskan Adjat Sudrajat sebagai pemain paling populer sepanjang masa, maka tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai pemain paling sukses.
4 gelar kampiun dan kiprahnya bersama timnas menjadi rujukan yang sangat sulit disaingi pemain Persib mana pun. Rujukan itu pula yang membuatnya masuk dalam daftar 50 pemain terbsesar Indonesia yang dikeluarkan PSSI beberapa waktu silam.





Sumber : Tabloid Soccer



Dengan beberapa perubahan.

Jumat, 18 April 2008

SoccerClopedi : Raoul Diagne

PERINTIS MULTIRAS LES BLEUS

Nama Raoul Diagne memang tak seharum Zinedine Zidane, Patrick Vieira, Thierry Henry atau Christian Karembeu. Tapi, faktanya dia punya andil besar dalam keragaman di timnas Perancis sekarang ini. Diagne adalh pemain kulit berwarna pertama yang membela Les Bleus. Dia melakukan debut pada 15 Feburari 1931 ketika timnas Perancis dikalahkan Cekoslovakia 1-2.
Setelah itu, muncul nama-nama imigran lain yang menjadi penggawa Les Bleus. Sebut saja Ali Benouna, seorang muslim keturunan Aljazair, dan Larbi Ben bArek, pemain yang berasal dari Casablanca. Ketiganya mejadi pemberi warna sekaligus pendobrak batas rasial di sepak bola pada dekade 1930-an.
Latar belakang Raoul cukup unik. Kedatangannya ke Perancis sangat dipengaruhi oleh penunjukkan sang ayah., Blaise Diagne yang juga Wakil Walikota Dakar sebagai perwakilan
Senegal di Majelis Nasional Perancis. Blaise sendiri adalah orang kulit hitam pertama yang terpilih sebagai anggota majelis tersebut.
Raoul lantas bergabung dengan Racing Paris pada 1930 sebagai pemain belakang. Dia menjadi bintang di klub itu hingga akhirnya ditarik ke timnas Perancis. Antara 1931-40, pemain kelahiran Guyana, 10 November 1910 ini bermain 18 kali untuk Les Bleus dan menjadi salah satu pemain yang dibawa pelatih Gaston Barreau ke Piala Dunia 1938.
Keberadaannya di timnas Perancis adalah sebuah isyarat bahwa sepak bola bukanlah sebuah identitas nasional di negeri itu. Sebuah fenomena unik mengingat pada dekade 1930-an, banyak negara Eropa yang menjadikan sepak bola sebagai bagian dari kebanggaan nasional.
Setelah era Diagne, makin banyak pemain imigran dari berbagai negara yang mencuat dan menjadi andalan Les Bleus. Bahkan, beberapa di antaranya menjadi bintang-bintang yang membawa keharuman bagi negeri asal Nepoleon. Bonaparte itu. Salah satunya adalah saat Les Bleus menjuarai Piala Dunia 1998.




Sumber : Tabloid SOCCER

Sabtu, 05 April 2008

FootballClopedi : Kepeloporan Radenkovic



Petar Radenkovic boleh dibilang sial. Dia mencuat seiring melesatnya kiper Uni soviet, Lev Yashin, yang lamntas disebut sebagai kiper terbaik dunia. Padahal, sebenarnya pria yang akrab di panggil Radi ini, tak kalah dibanding Yashin. Bahkan, dalam beberapa hal, dia melebihi kiper yang dijuluki Black Spider itu. Radi adalah pelopor, terutama di sepak bola Jerman. Kiper asal Yugoslavia ini adalah satu dari hanya tiga pemain asing yang merumput pada pekan pertama saat Bundesliga digulirkan pada 1963. Sudah begitu, dia juga pelopor kiper yang tidak hanya berada di daerah gawangnya tapi juga merangsek hingga kotak penalti lawan.
Selain itu, dia juga pelopor selebriti lapangan hijau. Radi punya kerjaan sampingan sebagai model dan penyanyi. Kiprahnya di sana sama suksesnya dengan di lapangan hijau. Jika dilapangan hijau dia sempat meraih gelar juara Bundesliga, Piala Jerman, Piala Yugoslavia, dan medali perak olimpiade, di bidang tarik suara pun kiprahnya mengagumkan. buktinya, salah satu single-nya, Bin i Radi, Bin i Koenig yang dirilis April 1965 terjual sebanyak 400 ribu kopi dan sempat nangkring di posisi 5 chart Jerman pada tahun itu. dalam lagu itu, terdapat bait yang mengilustrasikan kelakuannya di lapangan yang berani sekligus humoris.
Lagu itu juga menjadikannya perintis tradisi pebola-penyanyi yang lantas sangat popular di Jerman. Di antara yang mengikuti jejaknya adalah Gerd Mueller dan Franz Beckenbauer, dua bintang Die Nationalmannschaft.



SUMBER : TABLOID SOCCER

FootballClassic : Stadion Highbury

KEAGUNGAN DALAM KESEDERHANAAN



Bagi masyarakat London, bahkan Inggris, stadion Highbury memiliki banyak arti. Meski rancangan sederhana dan ukurannya tak terlalu besar, stadion di London utara ini memiliki citra keagungan yang cukup sakral. Apalagi bagi pemain Arsenal, Highbury bak rumah terindah yang sulit ditinggalkan. Jarak antara penonton dan lapangan yang tergolong paling kecil di Inggris (101 x 67 meter), membuat kedekatan suporter dan pemain begitu erat. Ikatan emosinya pun sangat besar. seolah, bermain di stadion itu seperti berinterkasi dengan penonton secara konstan.
Wajar jika jika para pemain Arsenal merasa memiliki kekuatan lebih jika tampil kandang. Mereka merasa memiliki energi lebih. "highbury sejajar dengan Satde de France di Perancis. Bermain di stadion ini memiliki hubungan begitu aneh dan membangkitkan semangat. ada gairah besar, komitmen, dan kehangatan antara pemain dan suporter. Saya akan selalu merasakan hal itu sampai akhir hayat nanti," kata mantan pemain The Gunner, Emmanuel Petit.
"Benar. Beruntung Arsenal punya Highbury. Setiap tampil kandang, Arsenal sulit dikalahkan. Ada kekuatan ekstra yang begitu nyata di sini," timpal eks The Gunners lain, Niall Quinn. Selama bermarkas di stadion ini, The Gunners meraih 73 gelar di berbagai turnamen dan kompetisi. Raihan prestasi yang cukup menajubkan. Kebesaran Arsenal tak bisa dipisahkan dari stadion ini. Highbury juga pernah melambungkan kebanggaan dan harga diri bangsa Inggris. Tepatnya pada 1934, ketika Inggris menantang juara Piala Dunia tahun tiu, Italia. Dengan gagah, Inggris mengalahkan Italia 3-2. sepak bola ingggris bisa bertepuk dada. Seolah mereka memproklamirkan diri sebagai juara dunia tanpa mahkota.
Keberuntungan Arsenal memang ada di Highbury. Pada 1999-2000, Arsenal sempat memakai Wembley untuk pertandingan Liga Champions. Haslinya sangat buruk. Dari 6 partai hanya menang 2 kali, seri sekali, dan kalah 3 kali. Maka, Arsenal kembali memakai Highbury di semua kompetisi. Itu karena Highbury begitu matang sebagai stadion. Dibangun tahun 193, highbury menjadi bagian dari catatan sejarah sepak bola maupun sejarah umum bagi Inggris. Di sini pula keselamatan negara pernah dipertaruhkan. Pada Perang Dunia II, Inggris sempat kecolongan dan diserang bom oleh musuh-musuhnya. Sebuah bom sempat mengahantam beberapa wilayah London, salah satunya menghancurkan teras utara highbury.
Justru karena letaknya yang begitu strategis dalam strategi perang, Highbury akhirnya ddigunakan pemerintah Inggris sebagai pusat ARP (Air Raid Precaution). Semacam pusta pencegahan serangan udara. Stadion ditutup untuk sepak bola. Arsenal terpaksa meminjam stadion arch-rival-nya (Tottenham Hotspur) White Hart Lane. Setelah perang, stadion ini kembali bersinar Bahkan, tak hanya sepak bola yang digelar di sini. Pernah dipakai pula untuk baseball bahkan tinju. Tentang tinju, duel yang paling berkesantentu perebutan gelar dunia kelas berat antara Muhammad Ali melawan Henry Cooper pada 1966.

DUA VERSI

Arsenal awalnya bermarkas di Manor Ground, Plumstead, bagian timur London. Tapi karena tempat itu juga bagian dari areal olahraga dan rekreasi sekolah setempat, klub terpkasa mencari tempat baru. Arsenal harus pindah cepat. Highbury menjadi pilihannya. Pembangunan stadion dilaksanakan agak terburu-buru. Dana yang dikeluarkan hanya 215.000 pounds. Cukup sederhana untuk ukuran waktu itu, tapi ternyata lumayan memuaskan. Sebab, antusiasme penonton terbilang tinggi. Didesain oleh arsitek bernama Archbald Leitch, stadion ini awalnya hanya memiliki tribun di sisi timur. 3 sisi lainnya hanya areal penonton tanpa kursi dan atap. Itu versi pertama Highbury.
Awal 1930, dengan desain arsitek Claude Waterlow Ferrier dan William Binnie, tribun barat didirikan. Stadion ini menjadi tampak megah. Tahun 1932, renovasi itu selesai dengan biaya hanay 45.000 pounds. Desain keuda arsitek itu dilanjutkan pada 1936. tribun timur bikinan Leitch diganti baru dan keseluruhan stadion pun selesai dengan menghabiskan 130.000 pounds. Di tribun selatan diberi jam dinding beaar. Sehingga, sisi itu terkenal dengan Clock End. Meski bentuknya kotak lugu, Highbury punya kekhasan tersendiri.
Renovasi kecil-kecilan sebenarnya sering dilakukan. Tapi, bentuk alam tetap bertahan. Sehingga, kewibawaan Highbury tetap terjaga. "Stadion ini dibangun di awal abad ke-20, tapi kini kewibawaannya tak kalah dari stadion megah lainnya," puji eks epmain Arsenal, frank McLintock. Bentuknya boleh sederhana dan kecil. tapi maknanya begitu agung, penuh wibawa, dan punya sejarah indah.


FAKTA HIGHBURY :

Nama resmi : Stadion Arsenal
Julukan : Highbury
Berdiri : 6 september 1913
Alamat : Avenell Road,Highbury, London,N5 1BU
Kapasitas : 38.500
Partai pertama : Anrsenal 2-1 Leicester Fosse
Kekuatan lampu : 2.500
Luas Lapangan : 101 x 67 meter
Status : Bintang tiga
Penoton terbanyak : 73.295 (Arsenal vs Sunderland, 9 Maret 1935)
Penonton tersedikit : 4.554 (Arsenal vs Leeds United, 5 Mei 1996)





SUMBER : TABLOID SOCCER




KAMU DI KOTA MANA??

Sign by Danasoft - Myspace Layouts and Signs