Robby Darwis beridiri paling kanan
Biar ga bosen liat artikel dari Luar negeri melulu, kali ini, saya ingin membahas tentang Robby Darwis, salah satu pemain Legendaris yang dimiliki timnas Indonesia pada masa lampau.
Sederet bintang lahir di ranah Pasundan. Khusus bagi Robby, adalah pengecualian. Bukan karena dia tidak termasuk bintang, tapi karena kebintangannya telah diakui dalam skala Nasional. Ban kapten timnas Indonesia yang cukup lama tersemat di lengannya menjadi bukti kemampuannya diakui di level yang lebih tinggi.
Robby memang ditakdirkan untuk jadi seorang bintang. Sejak bakatnya terendus pelatih Persib asal Polandia Marek januta di awal '80-an, jalan karier seakan terhampar mulus untuknya. Secara kebetulan dia tumbuh ketika atmosfer sepak bola Bandung tengah menginjak masa keemasan. Bersama adjt Sudrajat, Robby mewakili generasi Persib paling mencorong di pertengahan '80-an dan medio '90-an.
Tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai wakil generasi emas Persib paling bercahaya. Setidaknya jika kiprah di timnas dijadikan parameternya. Total sepuluh tahun (1987-1997) ia mengenakan seragam Merah-Putih. Dan sebagian besar waktu kariernya di timnas ia lalui sebagai seorang kapten.
Kiprahnya meninggalkan kesan tersendiri buat publik bola Bandung. Sebab, setelah ia pensiun tidak ada lagi pemain Persib yang dipercaya menjadi pemanggul komando di timnas. Tak heran bila sampai saat ini nama Robby selalu dipersonifikasikan dengan romantisme kejayaan Persib tempo dulu.
Sebuah pengakuan yang sangat wajar, mengingat Persib sempat menancapkan kukunya dengan amat dalam di altar sepak bola nasional semasa Robby masih aktif. Bersama koleganya di generasi emas Persib, tiga gelar juara Perserikatan dan satu trofi Liga Indonesia ia persembahkan untuk para bobotoh.
Robby menganggap keempat gelar itu sama-sama mengesankan. Gelar pertama di kancah Perserikatan yang direbut pada musim 1985-86, dia anggap sebagai gerbang prestasi generasi emas Persib. Keberhasilan itu terasa sanagt berarti karena sebelumnya tim Pangeran Biru sempat merasakan pahitnya terlempar ke Divisi I pada 1978.
Gelar sekaligus juga mengakhiri paceklik prestasi selama 25 tahun. "Sedangkan gelar juara Perserikatan 1989-90 menjadi jawaban atas kegagalan generasi emas pada tiga musim setelah merebut gelar pertama," tutur Robby.
Begitu pula dengan gelar ketiga yang direngkuh tahun 1993-94. Terutama karena itulah kompetisi Perserikatan terkahir. Pada msuim berikutnya PSSI mengubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia dengan menggabungkan tim asal Perserikatan dan Galatama. Karena itu pula Persib berhak menyimpan Piala Presiden secara permanen di lemari koleksi mereka.
Kesan terhadap gelar keempat idak kalah impresifnya. Robby menyebut kebehasilannya menyabet titel kampiun Liga Indonesia I mengandung sebuah keajaiban. Masih mengandalkan skuad generasi emas, Persib menjadi satu-satunya tim eks Perserikatan yang tampil di abbak 8 besar. Meski demikian, Robby Darwis dkk akhirnya mampu berkelit dari ekpungan klub-klub eks Galatama, untuk menjadi juara di tahun pertama kompetisi.
"Generasi emas Persib berhasil memungkas kompetisi Perserikatan dan membuka era Liga Indonesia dengan gelar juara. Saya yakin ini sebuah prestasi yang akan selalu dikenang," ujar Robby.
Romantisme terhadap generasi Robby kian menjadi-jadi lantaran setelah titel Liga Indonesia I, Persib tidak kunjung berhasil menambah koleksi trofi juara.
KARAKTER KHAS
Tidak ada pemain yang punya karakter yang khas dan kuat seperti Robby. Karakternya semasa aktif membela panji tim Pangeran Biru maupun timnas sangat identik dengan 'tukang sapu bersih' di lini pertahanan. Sampai kemudian sepak terjangnya di lapangan melahirkan istilah yang sangat populer di kalangan bobotoh, yaitu "halik-ku aing!" ( minggir biar aku yang ambil!).
Seperti itulah memang tipikal Robby ketika menjadi palang pintu lini belakang. Urusan membersihkan daerah pertahanan dari serbuan musuh adalah tanggung jawabnya.
Nama Robby kian menjulang setelah dikontrak klub asal Malaysia, Kelantan FC. Meski kemudian di sana ia tersandung masalah, sama sekali tidak melunturkan citra kebintanggannya. Saat kembali ke tanah air, Robby tetap seorang bintang bagi para bobotoh.
Robby seolah menjadi ikon penting dalam era emas Persib di kancah persepakbolaan nasional. Bila bobotoh mentahbiskan Adjat Sudrajat sebagai pemain paling populer sepanjang masa, maka tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai pemain paling sukses.
4 gelar kampiun dan kiprahnya bersama timnas menjadi rujukan yang sangat sulit disaingi pemain Persib mana pun. Rujukan itu pula yang membuatnya masuk dalam daftar 50 pemain terbsesar Indonesia yang dikeluarkan PSSI beberapa waktu silam.
Sederet bintang lahir di ranah Pasundan. Khusus bagi Robby, adalah pengecualian. Bukan karena dia tidak termasuk bintang, tapi karena kebintangannya telah diakui dalam skala Nasional. Ban kapten timnas Indonesia yang cukup lama tersemat di lengannya menjadi bukti kemampuannya diakui di level yang lebih tinggi.
Robby memang ditakdirkan untuk jadi seorang bintang. Sejak bakatnya terendus pelatih Persib asal Polandia Marek januta di awal '80-an, jalan karier seakan terhampar mulus untuknya. Secara kebetulan dia tumbuh ketika atmosfer sepak bola Bandung tengah menginjak masa keemasan. Bersama adjt Sudrajat, Robby mewakili generasi Persib paling mencorong di pertengahan '80-an dan medio '90-an.
Tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai wakil generasi emas Persib paling bercahaya. Setidaknya jika kiprah di timnas dijadikan parameternya. Total sepuluh tahun (1987-1997) ia mengenakan seragam Merah-Putih. Dan sebagian besar waktu kariernya di timnas ia lalui sebagai seorang kapten.
Kiprahnya meninggalkan kesan tersendiri buat publik bola Bandung. Sebab, setelah ia pensiun tidak ada lagi pemain Persib yang dipercaya menjadi pemanggul komando di timnas. Tak heran bila sampai saat ini nama Robby selalu dipersonifikasikan dengan romantisme kejayaan Persib tempo dulu.
Sebuah pengakuan yang sangat wajar, mengingat Persib sempat menancapkan kukunya dengan amat dalam di altar sepak bola nasional semasa Robby masih aktif. Bersama koleganya di generasi emas Persib, tiga gelar juara Perserikatan dan satu trofi Liga Indonesia ia persembahkan untuk para bobotoh.
Robby menganggap keempat gelar itu sama-sama mengesankan. Gelar pertama di kancah Perserikatan yang direbut pada musim 1985-86, dia anggap sebagai gerbang prestasi generasi emas Persib. Keberhasilan itu terasa sanagt berarti karena sebelumnya tim Pangeran Biru sempat merasakan pahitnya terlempar ke Divisi I pada 1978.
Gelar sekaligus juga mengakhiri paceklik prestasi selama 25 tahun. "Sedangkan gelar juara Perserikatan 1989-90 menjadi jawaban atas kegagalan generasi emas pada tiga musim setelah merebut gelar pertama," tutur Robby.
Begitu pula dengan gelar ketiga yang direngkuh tahun 1993-94. Terutama karena itulah kompetisi Perserikatan terkahir. Pada msuim berikutnya PSSI mengubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia dengan menggabungkan tim asal Perserikatan dan Galatama. Karena itu pula Persib berhak menyimpan Piala Presiden secara permanen di lemari koleksi mereka.
Kesan terhadap gelar keempat idak kalah impresifnya. Robby menyebut kebehasilannya menyabet titel kampiun Liga Indonesia I mengandung sebuah keajaiban. Masih mengandalkan skuad generasi emas, Persib menjadi satu-satunya tim eks Perserikatan yang tampil di abbak 8 besar. Meski demikian, Robby Darwis dkk akhirnya mampu berkelit dari ekpungan klub-klub eks Galatama, untuk menjadi juara di tahun pertama kompetisi.
"Generasi emas Persib berhasil memungkas kompetisi Perserikatan dan membuka era Liga Indonesia dengan gelar juara. Saya yakin ini sebuah prestasi yang akan selalu dikenang," ujar Robby.
Romantisme terhadap generasi Robby kian menjadi-jadi lantaran setelah titel Liga Indonesia I, Persib tidak kunjung berhasil menambah koleksi trofi juara.
KARAKTER KHAS
Tidak ada pemain yang punya karakter yang khas dan kuat seperti Robby. Karakternya semasa aktif membela panji tim Pangeran Biru maupun timnas sangat identik dengan 'tukang sapu bersih' di lini pertahanan. Sampai kemudian sepak terjangnya di lapangan melahirkan istilah yang sangat populer di kalangan bobotoh, yaitu "halik-ku aing!" ( minggir biar aku yang ambil!).
Seperti itulah memang tipikal Robby ketika menjadi palang pintu lini belakang. Urusan membersihkan daerah pertahanan dari serbuan musuh adalah tanggung jawabnya.
Nama Robby kian menjulang setelah dikontrak klub asal Malaysia, Kelantan FC. Meski kemudian di sana ia tersandung masalah, sama sekali tidak melunturkan citra kebintanggannya. Saat kembali ke tanah air, Robby tetap seorang bintang bagi para bobotoh.
Robby seolah menjadi ikon penting dalam era emas Persib di kancah persepakbolaan nasional. Bila bobotoh mentahbiskan Adjat Sudrajat sebagai pemain paling populer sepanjang masa, maka tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai pemain paling sukses.
4 gelar kampiun dan kiprahnya bersama timnas menjadi rujukan yang sangat sulit disaingi pemain Persib mana pun. Rujukan itu pula yang membuatnya masuk dalam daftar 50 pemain terbsesar Indonesia yang dikeluarkan PSSI beberapa waktu silam.
Sumber : Tabloid Soccer
Dengan beberapa perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar